
SAMARINDA – Masalah stagnasi dan kasus hukum yang membelit sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Kalimantan Timur (Kaltim) membuka ruang diskusi lebih luas tentang pentingnya pembaruan model bisnis dan tata kelola perusahaan daerah.
Hal itu disampaikan oleh Anggota Komisi II DPRD Kaltim Abdul Giaz, yang mendorong lahirnya Perusda yang bukan hanya menjalankan bisnis, tapi juga membawa semangat kewirausahaan lokal.
“Selama ini banyak Perusda yang secara konsep memang untuk menghasilkan PAD. Tapi dalam praktiknya, banyak yang tidak berjalan sehat karena tata kelola internal yang lemah dan bahkan terjerat masalah hukum,” ujar Giaz.
Ia mencontohkan kasus BKS yang tengah berproses di kejaksaan akibat temuan keuangan sebelumnya. Alih-alih terus bertumpu pada model lama, Giaz mendorong agar Pemprov dan DPRD bersama-sama merancang ulang arah pengembangan Perusda.
Menurutnya, BUMD seharusnya bisa menjadi motor inovasi daerah, yang tidak sekadar mengelola aset, tetapi juga menciptakan produk dan layanan berbasis kebutuhan lokal.
“Potensi Kaltim besar, dari sumber daya alam hingga ekonomi digital. Perusda perlu mulai menyasar sektor-sektor baru, tidak hanya bisnis konvensional,” tambahnya.
Salah satu gagasan konkret yang ia lontarkan adalah membentuk layanan transportasi online lokal berbasis kearifan daerah. Hal ini merespons kerumitan sengketa antara pengemudi ojek online dan sistem tarif nasional yang kerap tidak berpihak pada kondisi daerah.
“Kenapa tidak kita buat saja ojek online lokal versi Kaltim? Dengan begitu kita bisa atur tarifnya sesuai kondisi riil masyarakat, sekaligus menyerap tenaga kerja lokal dan mendatangkan PAD juga,” ujarnya.
Giaz menekankan pentingnya pendekatan yang menyeimbangkan pengawasan ketat, transparansi, dan inovasi. Ia meyakini bahwa dengan tata kelola yang sehat dan strategi bisnis yang adaptif, Perusda dapat menjadi instrumen efektif bagi kemandirian ekonomi daerah.
“Kalau pengelolaan Perusda benar-benar direformasi, kita bisa lihat lonjakan PAD sekaligus naiknya kesejahteraan masyarakat. Ini bukan lagi soal bisnis, tapi soal arah pembangunan ekonomi daerah yang berdaulat,” pungkasnya. (GK/ADV/DPRDKALTIM)