
Samarinda — Gelombang kasus kekerasan terhadap anak kembali mengguncang Kota Samarinda. Dalam waktu berdekatan, dua tragedi memilukan terjadi: seorang balita diduga telantar di sebuah panti asuhan swasta, dan dua balita lainnya tewas secara tragis di tangan ayah kandung. Deretan kasus ini semakin menegaskan lemahnya sistem perlindungan anak di kota ini.
Sorotan tajam datang dari Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, yang menyatakan bahwa akar persoalan terletak pada lemahnya pengawasan dan minimnya fasilitas perlindungan anak, khususnya terhadap panti asuhan yang dikelola secara mandiri oleh pihak swasta.
“Kalau panti-panti itu milik swasta, kita hanya bisa membina. Soal siapa yang tinggal di dalamnya, hingga pembiayaan, itu di luar kendali kami,” tegas Sri Puji.
Sri Puji mencontohkan kasus di mana seorang ibu terpaksa menitipkan anaknya berkebutuhan khusus ke panti asuhan umum meskipun telah ditolak berkali-kali. Ia menilai, penempatan seperti itu sangat tidak tepat. “Seharusnya ada panti khusus anak-anak. Tapi kita tidak punya. Anak-anak seperti ini tidak bisa dititipkan begitu saja,” ujarnya prihatin.
Menurutnya, kewenangan pendirian panti khusus anak berada di pemerintah provinsi, sehingga Pemkot Samarinda tidak memiliki kapasitas untuk membangun rumah perlindungan atau rumah aman secara permanen, meskipun angka kekerasan terhadap anak terus meningkat. “Kami ingin bangun panti, rumah singgah, atau rumah aman. tapi terbentur regulasi dan anggaran. Kota tidak punya kewenangan,” jelasnya.
Di tengah keterbatasan tersebut, DPRD melalui Komisi IV telah mendorong lahirnya Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan Anak. Namun, pelaksanaannya bergantung pada komitmen dan kapasitas eksekutif. “Fungsi kami di DPRD hanya legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Tapi kami juga dorong anggaran ke DP2PA dan DP2KB, walau porsinya masih kecil dibanding sektor lain,” jelas Sri Puji.
Ia juga menekankan pentingnya memperkuat ketahanan keluarga sebagai upaya preventif. Menurutnya, sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak berasal dari rumah tangga yang rentan secara sosial dan ekonomi. “Masalah ini bukan cuma soal kekerasannya. Tapi juga soal kemiskinan, kebodohan, dan rendahnya literasi. Banyak orang tua tidak tahu harus ke mana ketika kesulitan,” imbuhnya.
Menyikapi kondisi ini, Sri Puji mendorong adanya transparansi dan tanggap darurat dari pemerintah terhadap setiap kasus yang muncul. Ia berharap, tragedi demi tragedi ini menjadi momentum untuk mendorong pembentukan panti khusus anak, baik di Samarinda maupun di tingkat provinsi.
“Kasus ini jangan ditutup-tutupi. Harus jadi dorongan agar ada kebijakan nyata untuk perlindungan anak yang lebih kuat,” pungkasnya. (Adv)