
Samarinda – Praktik manipulasi data dalam sistem pendidikan kembali menjadi sorotan di Kota Samarinda. Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Ismail Latisi, mengungkapkan adanya ketidaksesuaian pelaporan data dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) oleh sejumlah sekolah. Hal ini berdampak pada ketimpangan distribusi bantuan pendidikan dari pemerintah pusat.
Dapodik merupakan sistem data resmi yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dapodik berfungsi sebagai acuan dalam perencanaan program dan kebijakan pendidikan nasional. Melalui sistem ini, pemerintah bisa mengakses informasi rinci terkait jumlah tenaga pendidik, kondisi infrastruktur, jumlah peserta didik, sarana-prasarana, hingga kebutuhan anggaran.
Sayangnya, menurut Ismail, masih banyak sekolah di Samarinda yang memoles data agar tampak ideal demi meraih akreditasi tinggi. Hal ini berimbas pada pengabaian kebutuhan riil sekolah, utamanya di wilayah-wilayah dengan fasilitas terbatas.
“Banyak sekolah yang mengejar akreditasi A, tapi dengan cara yang tidak tepat. Mereka melaporkan data seolah-olah semua sudah ideal padahal ruang kelas masih rusak, fasilitas kurang, dan guru tidak cukup. Akibatnya, sekolah itu dianggap sudah layak dan akhirnya tidak lagi masuk dalam prioritas bantuan dari pemerintah pusat,” jelas Ismail.
Ia menekankan bahwa validitas data penting dalam membangun sistem pendidikan yang adil dan merata. Data yang keliru justru menghalangi program-program bantuan seperti perbaikan infrastruktur, pengadaan fasilitas belajar, hingga penambahan tenaga pendidik di sekolah-sekolah yang benar-benar membutuhkan.
“Kalau sekolah tidak menyampaikan kebutuhan mereka secara jujur, bagaimana mungkin pemerintah bisa membantu? Kita tidak bisa merancang kebijakan yang tepat kalau datanya salah. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi soal keadilan bagi anak-anak kita,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, DPRD Kota Samarinda mendorong Dinas Pendidikan agar lebih aktif melakukan verifikasi dan validasi data secara berkala. Ismail mengusulkan agar audit atau inspeksi mendadak dilaksanakan secara rutin, terutama di sekolah-sekolah yang berada jauh dari pusat kota.
Ia juga menyoroti peran operator sekolah dalam pengisian data Dapodik yang kerap kali bekerja di bawah tekanan atau dengan pemahaman yang minim mengenai pentingnya akurasi data.
“Sering kali yang mengisi Dapodik bukan kepala sekolah, tapi operator. Jika mereka kurang paham atau ditekan untuk mengisi data ideal, maka potensi manipulasi akan terus ada,” katanya.
Dalam jangka panjang, Ismail berharap ada pergeseran budaya dalam sistem pendidikan, dari pencitraan menuju transparansi. Menurutnya, kualitas pendidikan yang merata hanya dapat dicapai jika data yang digunakan sebagai dasar kebijakan bersumber dari kondisi lapangan yang sebenarnya.
“Akreditasi memang penting, tapi bukan segalanya. Jauh lebih penting adalah bagaimana sekolah benar-benar mampu memberikan layanan pendidikan yang baik dan merata untuk semua siswa. Dan itu hanya bisa tercapai jika kita mulai dengan data yang benar,” tutupnya. (Adv)