Gubernur Isran Noor dan Sekprov Kaltim Sri Wahyuni. Sri Wahyuni masuk calon bursa Pj Gubernur Kaltim
SAMARINDA–Usulan nama penjabat (Pj) gubernur Kaltim dari DPRD provinsi belum mengerucut. Pembahasan tiga nama yang akan diserahkan ke Kemendagri, sejauh ini baru sekadar obrolan warung kopi. Pasalnya, hingga kemarin (9/8), surat permintaan nama dari pemerintah pusat ke DPRD Kaltim soal usulan nama Pj gubernur belum terbit.
Ditemui di ruangannya, Wakil Ketua DPRD Kaltim M Samsun mengungkapkan, pembahasan tiga nama Pj gubernur membuat mereka dilema. Menurut dia, cukup sulit memilih karena banyak nama yang punya potensi. “Di Makassar itu, untuk usulan Pj gubernur (Sulsel) sampai deadlock, akhirnya dewan tidak mengusulkan. Ya, tidak masalah juga,” ungkapnya.
Di Kaltim, kata politikus PDI Perjuangan itu, ada banyak nama yang berpotensi. Di antara yang memenuhi syarat eselon I, ada sosok Sekprov Kaltim Sri Wahyuni, Deputi Bidang Sosial Budaya (Sosbud) Otorita IKN Alimuddin, dan Rektor Unmul Abdunnur. “Itu baru beberapa nama yang lokal. Artinya, kalau hanya tiga, membatasi yang lain,” ungkapnya.
Sejauh ini, sambung dia, nama-nama yang mengemuka sebatas pembicaraan internal. Sebab, DPRD Kaltim belum memulai pembahasan resmi. “Apa dasar kami membahas. Mekanismenya nanti mendagri bersurat kepada DPRD untuk mengusulkan, baru kami bahas. Saat ini masih obrolan warung kopi,” jelasnya.
Dia menambahkan, masalah sosok Pj gubernur Kaltim bukan soal lokal atau dari luar daerah. Tetapi kewenangan presiden karena menjadi kepanjangan tangan kepala negara di daerah. “Pun kami mengusulkan, bila tidak dipilih mau gimana? Wong cuma sekadar usulan, dan sejauh ini masih normatif saja. Kami harap, siapa pun Pj nanti, dapat tetap melanjutkan roda pemerintahan yang selama ini sudah baik,” harapnya.
Samsun menuturkan, penentuan Pj gubernur Kaltim bakal melalui seleksi dengan syarat eselon I dan punya pengalaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sementara itu, terkait usulan melalui Fraksi PDIP, Samsun menegaskan keputusan DPRD selalu kolektor kolegial.
“Karena tanda tangan usulan nama-nama tersebut tetap oleh ketua DPRD,” katanya. Dengan demikian, lanjut dia, keputusan DPRD nantinya tetap bakal mengakomodasi aspirasi seluruh fraksi di Karang Paci, sebutan kantor DPRD Kaltim di Samarinda.
“Fraksi itu ada delapan. Bila satu mengusulkan tiga, dan tiap fraksi punya nama yang berbeda, maka akan ada banyak nama. Jadi sejauh ini, dari DPRD ada lebih dari tiga nama,” tuturnya. Terpisah, Wakil Ketua DPRD Kaltim Seno Aji menambahkan, obrolan nama Pj gubernur Kaltim belum ada yang resmi di dalam forum.
Diakuinya, memang ada beberapa calon yang perlu difinalisasi sambil menunggu surat mendagri. “Nanti mungkin akan ada rapat membahas soal (Pj gubernur) itu. Karena memang banyak nama potensial,” ungkapnya.
Mengenai usulan dari Fraksi Gerindra, dia mengaku sudah punya nama untuk diusulkan. “Yang lain boleh punya banyak nama. Kalau Gerindra itu pilihannya Kamaruddin Amin. Dia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama. Dia putra daerah asal Bontang,” ungkapnya.
Untuk diketahui, masa jabatan Gubernur Kaltim Isran Noor-Wakil Gubernur Hadi Mulyadi akan berakhir Oktober mendatang. Artinya, selama setahun hingga Pilkada Serentak 2024, Kaltim akan dipimpin Pj gubernur. Proses penjaringan calon penjabat (Pj) kepala daerah yang ditunjuk memimpin 85 daerah, termasuk Provinsi Kaltim dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) pada September mendatang, belakangan mendapat sorotan Ombudsman RI. Sebab, proses yang dijalankan pemerintah tidak sesuai koreksi yang disampaikan Ombudsman sebelumnya.
Pada 2022, Ombudsman RI telah memutuskan proses penunjukan Pj malaadministrasi. Putusan dilakukan seusai koalisi masyarakat sipil mengadukan masalah tersebut ke Ombudsman. Karena itu, Ombudsman mengoreksi penjaringan Pj harus terbuka dan partisipatif, tidak menunjuk TNI aktif, serta membuat aturan teknis.
Komisioner Ombudsman RI Robert Endi Jaweng mengatakan, dari ketiga rekomendasi yang disampaikan, praktis hanya pembuatan aturan yang dijalankan. Yang lainnya tidak berjalan sesuai koreksi. Ketentuan transparansi dan partisipatif misalnya. Dia tidak menemukan praktik itu di lapangan saat proses di DPRD.
Dalam proses DPRD, lanjut Endi, yang lebih terlihat adalah pertarungan politik, kompromi, dan lobi. Di semua daerah yang dipantau Ombudsman, tidak ada satu pun yang membuka partisipasi publik dengan meminta masukan elemen masyarakat. ’’Kita tidak mendapatkan ada contoh bagus dari daerah,’’ tuturnya. Kemudian, poin koreksi terkait keterlibatan prajurit. Ombudsman juga menemukan indikasi pelanggaran. Di Sulawesi Selatan, ada TNI yang masuk usulan DPRD. Di NTT, pihaknya mendapati ada perwira polisi aktif yang masuk dalam usulan. Padahal, TNI aktif dilarang menjabat Pj kepala daerah. Sebab, hal itu di luar 10 kementerian/lembaga yang diperbolehkan Undang-Undang (UU) TNI.
Untuk perwira Polri, ketentuannya diperbolehkan dengan izin Kapolri. Karena proses usulan sudah disampaikan ke pusat, Endi mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan pembenahan. Untuk transparansi, Ombudsman merekomendasikan agar membuka nama-nama usulan yang telah masuk. ’’Ada waktu masyarakat memberi masukan,’’ terangnya.
Dia menekankan, transparansi dan partisipasi bukan hanya prasyarat yang diminta MK dalam putusannya. Namun, juga menjadi kebutuhan untuk memberikan legitimasi kepada Pj terpilih. Dari pengamatannya, Pj yang tidak sesuai harapan publik membutuhkan waktu konsolidasi panjang saat memimpin pemda. ’’Banyak waktu dihabiskan hanya untuk konsolidasi di masyarakat. Efektivitas pemerintahan menjadi taruhan,’’ ungkapnya. (far/c6/hud/jpg/riz/k8)