Usulkan Regulasi Sempadan Sungai, DPRD Samarinda Dorong Pembangunan Berbasis Risiko Bencana

Ketua Komisi III DPRD Kota Samarinda, Deni Hakim Anwar


Samarinda – Ketua Komisi III DPRD Kota Samarinda, Deni Hakim Anwar, menyoroti pentingnya pengendalian banjir secara menyeluruh di Kota Tepian. Menurutnya, pengendalian banjir tidak cukup hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur seperti drainase atau pengerukan aliran sungai, melainkan harus disertai pendekatan berbasis mitigasi risiko dan penataan ruang yang ketat, terutama terkait bangunan di atas sempadan sungai.

Hal ini ia sampaikan saat menjelaskan hasil inspeksi mendadak (sidak) Komisi III beberapa waktu lalu yang berfokus pada persoalan lingkungan dan dampaknya terhadap banjir. Lokasi utamanya adalah di wilayah-wilayah rawan seperti Sidodamai, Damanhuri, dan kawasan Gerilya.

“Kalau yang kita sidakkan waktu itu kan dengan kaitan lingkungan tambangnya. Nah, saat ini apalagi pemerintah kota lagi konsen-konsennya untuk melakukan pengendalian banjir, terutama masalah hulu dan hilirnya,” ujar Deni.

Ia mencontohkan salah satu temuan penting di lapangan yang terjadi di daerah pemilihannya, tepatnya di Kelurahan Sidodamai, Kecamatan Samarinda Ilir. Dalam kunjungan lapangan yang dilakukan oleh Wali Kota dan Wakil Wali Kota Samarinda, tampak bahwa salah satu penyebab utama banjir di wilayah tersebut adalah tersumbatnya aliran air anak sungai. Setelah dilakukan peninjauan langsung, ditemukan adanya bangunan liar yang berdiri tepat di atas badan sungai maupun sempadan sungai.

“Ternyata kan ada bangunan. Nah inilah yang kami lagi usulkan, bahwa kita ingin mengusulkan raperda tentang bangunan di atas sempadan sungai. Kan banyak nih kasusnya. Kebanyakan penyebabnya adalah ada bangunan di atas sempadan sungai, dan itu semestinya tidak boleh,” jelasnya.

Deni menegaskan bahwa aturan sebelumnya sudah cukup jelas mengenai larangan membangun di sempadan sungai dengan jarak minimal 30 hingga 50 meter. Namun, ia melihat masih banyak pelanggaran yang terjadi, terutama akibat pertumbuhan penduduk yang tidak dibarengi dengan kesadaran hukum tata ruang.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pembangunan yang berbasis pada Analisis Risiko Bencana (ARB). Ia menyayangkan masih ada proyek pembangunan yang dilakukan di kawasan rawan, tanpa mempertimbangkan potensi longsor atau banjir.

“Makanya sekarang saat ini kan ada namanya ARB, Analisis Risiko Bencana. Jadi kita ingin bahwa PUPR (Pekerjaan Umum Penataan Ruang) ataupun PERKIM (Perumahan dan Kawasan Permukiman) ketika ingin melakukan pembangunan itu harus berdasarkan ARB. Karena sering kejadian adalah bahwa ini rawan bencana tapi dibangun rumah,” tutupnya.

Melalui dorongan regulasi sempadan sungai dan penerapan prinsip pembangunan berbasis risiko bencana, Komisi III DPRD Kota Samarinda berharap arah kebijakan tata ruang di kota ini semakin berpihak pada keselamatan dan keberlanjutan lingkungan. (Adv)

Exit mobile version